Skip to main content

Wajah Bali dalam Seni Lukis Video Realistik

Oleh: Rifky Effendy

TAHUN 1960-an, tradisi seni lukis internasional memasuki babak baru. Lukisan bagi para seniman masa itu tak lagi harus menjadi medium yang terus melarikan diri dari kejaran teknologi reproduksi macam fotografi dan film. Setidaknya tradisi itu "dipatahkan" oleh orang-orang macam Andi Warhol dan Gerhard Richter. Seni lukis dan fotografi maupun film terbukti bisa menjalin hubungan mesra melalui aspek-aspek visualitas maupun sebagai bentuk referensi gagasan.

Saat ini perkembangan teknologi multimedia seperti kemunculan komputer grafik dan reproduksi digital dalam bentuk foto dan video cukup membuat banyak perubahan signifikan dalam estetika maupun keartistikan. Bukan hanya mempengaruhi penggunaan medium, tetapi juga yang lebih menarik adalah bagaimana multimedia sebagai sumber gagasan dalam praktik seni lukis. Hal ini dilakukan oleh Filippo Sciascia, seorang perupa asal Italia yang bekerja dan menetap di Pulau Bali. Ia tertarik, terdorong, dan terinspirasi citraan video dalam karya-karya seni lukisnya.

Pameran tunggalnya di Gaya Fusion of Sense, Ubud, mulai 28 November tahun lalu sampai 28 Januari 2004, menghadirkan puluhan lukisan yang dibuat mulai dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2003. Selama hampir setahun lebih secara khusyuk Filippo dalam lukisannya menekuni wajah Ni Kadek Murtini, seorang gadis pribumi. Wajah Kadek tampil dengan apa adanya, bibir agak tebal merekah dan bergincu, mulutnya kadang terbuka sedikit hingga tampak giginya yang rapi dan bersih, pipi berisi dan membulat, matanya yang bening menatap dengan lembut dan kadang melirik ke kiri dan kanan, hidungnya agak melebar dan tak begitu mancung tapi seimbang dengan struktur wajahnya. Di dahi, tepat di antara kedua alis mata tebalnya, ada hiasan menempel yang umum digunakan oleh para perempuan Bali dalam acara ritual keseharian. Rambut hitamnya diikat ke belakang dan tampak tak begitu rapi. Singkatnya, Kadek adalah sosok gadis Bali kebanyakan.

Filippo merekam wajah gadis itu secara dekat (close-up) dan frontal dengan kamera mini DV beberapa saat. Dia tak sedang pergi ke ladang, menari, maupun mandi telanjang di sungai. Kadek hanya direkam sebatas wajah dengan berbagai rupa. Tetapi Filippo kemudian mengulang-ulang rekaman wajah itu melalui perangkat lunak penyunting gambar pada komputer laptopnya, diubah-ubah warnanya, kadang diberi efek khusus, diberi warna atau diperbesar sehingga muncul kotak-kotak piksel berbagai ukuran. Berbagai citraan hasil reka-reka ini kemudian ia pindahkan ke atas bidang kanvas maupun lempengan logam dengan cat minyak. Kadek membuatnya terpesona, bukan karena hasrat yang dialami Bonnet. Wajah itu lebih punya magis dalam layar monitor.

Sebelumnya, lelaki kelahiran tahun 1972 ini memang sudah menampilkan lukisan-lukisan serial wajah Kadek, sebagian karyanya pernah ia tampilkan dalam CP-Open Biennial bulan September tahun lalu di Jakarta. Pada saat itu, ia menampilkan instalasi lukisan dan rekaman video. Ia menjejerkan empat wajah Kadek: di atas sebidang kanvas yang mencitrakan laptop dengan wajah Kadek hitam-putih di layarnya, di atas permukaan bagian bokong wajan yang menyembung dan bulat, sebidang kanvas besar yang hanya mencitrakan wajah sangat dekat serta layar televisi yang menayangkan rekaman video wajah Kadek yang diulang-ulang (looping). Pada karya-karya ini bisa melihat jalinan antara referensi dan representasinya secara rampak atau jukstaposisi; realitas Kadek dalam layar televisi dan transformasinya dalam medium cat minyak di atas berbagai permukaan. Kemagisan seni lukis dan multimedia.

Filippo, yang beberapa kali berpameran tunggal di Ubud sejak tahun 2000, memang banyak terpengaruh oleh persoalan medium. Ia, yang kesehariannya juga bekerja sebagai perancang grafis, pernah memamerkan karya-karya yang didominasi fotorealistik. Seperti tahun 1998 sampai dengan tahun 2001, ia pernah memamerkan wajah-wajah orang Afrika, Sumba, maupun seri lukisan telanjang. Ia pernah mengakui pada saya, bahwa penggambaran fotorealistik memang terpengaruh oleh pelukis Jerman, Gerhard Richter, yang beberapa karyanya pernah dipergelarkan di Jakarta pada tahun 2002. Bahkan Filippo mengagumi dan menganggapnya sebagai guru dan sumber gagasannya. Terutama bagaimana sensibilitas Richter menguasai teknik melukis cat minyak dan mengamati serta menangkap subyek melalui fotografi, terutama citraan kaburnya. Efek pengaburan gambar dan bagaimana melukiskan kembali foto cara Richter inilah yang ia kembangkan lebih lanjut pada karya-karya lukisan videonya.

Tengoklah pada karya berjudul Kadek 16 dan Kadek 17, di mana ia mendemonstrasikan teknik melukis dari citraan gambar diam (still image) video yang ditransfer melalui penyuntingan komputer yang mengakibatkan guratan-guratan secara horizontal maupun vertikal atau menangkap citraan dari layar monitor komputer yang licin dan datar. Juga kita melihat citraan gambar wajah pada karya Kadek 11 dan Kadek 18. Pewarnaan bernuansa karat kemerahan secara digital melalui perangkat lunak juga berhasil ia pindahkan ke atas kanvas melalui penjelajahan teknik guratan, cipratan, dan goresan kuas yang melapis tipis di atas gambar sebelumnya seperti pada Kadek 22 sampai Kadek 30.

Filippo memang mengakui tengah tertarik untuk menemukan suatu sistem melukis yang memberi jalan pada kedekatan realitas subyek lewat konstruksi citraan digital, terutama ketika ia mentransformasikan data citraan dari VCD ke dalam format DVD yang diperbesar menghasilkan gambar dari susunan komposisi piksel-piksel yang berukuran besar. Pada Kadek 01, 31, 32 dan 33 kita bisa melihat bagaimana piksel tersebut berubah warna dan secara optis membentuk kontur wajah Kadek. Lukisan piksel ini akan tampak jelas ketika kita lihat dari jarak yang lebih jauh. Sedangkan yang menggelitik, ia juga memindahkan citraan wajah itu ke atas permukaan kasur putih pada Kadek 02.

Dari pamerannya yang bertajuk "Video Painting Kadek" ini, juga menarik disimak adalah bagaimana realitas video dan multimedia telah membentuk subkesadaran kita pada pemahaman realitas. Melalui media-baru kita melihat dunia di mana semuanya terlintas secara elektronis di layar televisi dan monitor komputer yang tak pernah berhenti bergerak. Mata kita memindai ribuan bingkai gambar (frame) dengan jutaan piksel tiap menitnya. Sebaliknya dalam realitas lukisan, mata kita tertumbuk pada kestatisan tetapi mempunyai dimensi yang kompleks dan dalam, suatu citraan dengan dengan kesubliman, memungkinkan untuk melakukan refleksi dan permenungan. Lukisan Filippo seperti mengejawantahkan spiritualitas dunia digital yang selama ini dianggap "sihir" yang dingin dan dangkal.

Valerio Deho’ , kritikus Italia, pada kata sambutannya dalam katalog pameran mengemukakan bahwa tradisi melukis telah berubah sejak penggunaan camera obscura oleh pelukis macam Vermeer dan Canaletto pada tahun 1600 -an . Para pelukis jarang melihat langsung pada obyeknya dan tak lagi dekat dengan realitas. Terutama ketika munculnya fotografi pada abad ke-19, para pelukis kemudian memanfaatkannya sebagai alat perantara untuk memahami realitas terutama lewat cahaya, suatu citra representasi. Video dan media baru sebagai realitas perantara atau representasi abad ke-21 tentunya punya peran penting dalam membentuk dan mereduksi suatu keobyektifan mata kita melihat dunia, menciptakan suatu mental pencitraan yang mengambang gamang.

Lukisan video Filippo menjadi suatu wujud kritis pada media baru. Dalam melukis subyeknya ia harus memilih ribuan frame wajah Kadek, menggubah, merenungi, menafsirkan kembali dan lalu memindahkannya pada sebidang kanvas. Berkat keahlian melukis dan penguasaan medium, ia berhasil menjadikan wajah itu tersusun kembali. Dari susunan piksel yang hampa dan transparan ke dalam medium cat minyak yang solid dan kental emosi.

Kadek sang gadis Bali bukanlah wajah manusia yang tertangkap secara alamiah telanjang mata seperti yang dilakukan oleh Hofker, Le Mayeur, maupun Bonnet. Wajah itu adalah konstruksi dari cahaya berbentuk susunan jutaan piksel yang begitu cepat bergerak tetapi kemudian dibekukan, diurai dan digubah sedemikian rupa. Filippo membuatnya menjadi wajah Kadek yang baru: menjadi magis dengan merekonstruksi makna dunia Bali yang eksotis di abad digital yang penuh reka-reka. Wajah manusia dalam kenyataan multimedia.

Rifky Effendy Penulis dan Kurator Seni Rupa

Comments

Popular posts from this blog

Tradisi Dan Perubahan:

Tradisi Dan Perubahan: Ekspresi Kendiri Dalam Aliran Modernisme Malaysia. Oleh Mohamed Ali Abdul Rahman (Pensyarah Kanan Jabatan Liberal) M.A. (Arts History and PRints) M.A. Edu. USA. B. A (Hons) USM. Cert Ed. (KPM) I. Pengenalan Seniman Malaysia, generasi abad kedua puluh satu yang mengikuti aliran modernisme dan pasca modernisme akan menilai semula nilai peribuminya dalam konteks baru dan dengan pandangan lebih segar. Penilaian mereka mungkin tidak lagi bersandar kepada nilai-nilai yang pernah digunakan dalam masyarakatperibumi zaman tradisi dan mereka menganggap nilai-nilai tersebut sebagai ketingalna zaman ketika itu. Sebab-sebab utama nilai tersebut dilupakan kerana ia mungkin digunakan atau diamalkan lagi. Mereka lebih suka memberikan nafas baru kepada seni peribumi yang didapati dari sumber peninggalan warisan zaman dan petikan kesasteraan tradisi. Seniman dari masyarakat peribumi mungkin tidak keterlaluan sepert seniman barat yang melupakan terus institusi-institusi keagamaan

Lahir Nafas akibat dendam pada besi

Oleh Azran Jaffar BAGI pengarca, Raja Shahriman Raja Aziddin, setahun tidak menempa besi menimbulkan rasa dendam seninya. Dendam itu bukan semata-mata kerana nilai kesenimannya bagaikan sudah hilang tetapi kerana rasa bersalah melahirkan arca berbentuk figura. Daripada dendam yang membara itu lahirlah Nafas, siri arca logam yang dilahirkan daripada satu daripada empat elemen yang dikaitkan dengan kejadian manusia iaitu tanah, api, air dan angin. Nafas adalah karya terbaru Raja Shahriman, 37 yang kini sedang dipamerkan di Balai Seni Lukis Negara. Ia adalah siri reka bentuk yang dihasilkan selama dua tahun selepas beberapa tahun mendiamkan diri sejak menghasilkan karya Gerak Tempur, Api Bayangan dan Kemenyan serta Semangat Besi. Jika selama ini arca-arcanya lebih memihak kepada figura, namun konflik yang menggolodak di dalam batinnya menyebabkan Raja Shahriman yang berasal dari Kuala Kangsar Perak cuba mengosongkan mindanya dengan bayangan itu. Hasilnya ialah Nafas yang berupa ja

Lukisan Bayu papar soal kemasyarakatan

DALAM angkatan pelukis muda, nama Bayu Utomo Radjikin bukanlah asing lagi. Baik dalam seni arca, figura, realisme dan abstrak, Bayu mempunyai kelebihan yang tersendiri. Selepas arca karyanya yang berjudul ‘Bujang Berani’ memenangi hadiah dalam pertandingan Bakat Muda Sezaman anjuran Balai Seni Lukis Negara (BLSN) pada 1991, Bayu tidak menoleh ke belakang lagi. Bidang yang pada asalnya hanya sekadar hobi berubah menjadi kerjaya. “Sejak kecil hobi saya melukis. Saya memang tidak pernah terfikir ia akan menjadi kerjaya saya suatu hari nanti. Apa yang saya tahu ketika itu segala emosi saya luahkan menerusi lukisan ,” kata pelukis berasal dari Tawau, Sabah ini. Ekoran minat yang tinggi dalam bidang lukisan , selepas memperoleh keputusan Sijil Pelajaran Malaysia (SPM) dia memasuki Institut Teknologi Mara (ITM) (sekarang UiTM) bagi menyambung pengajian dalam bidang seni halus. “Apabila ia menjadi kerjaya, kepuasannya berlainan. Bidang yang saya minati sejak kecil hingga sanggup melupakan