Skip to main content

Kekaburan Richter di Indonesia

Gerhard Richter terkesan menempuh tahap perkembangan yang bolak-balik. Dan dalam karya-karyanya, seni lukis dan fotografi seakan saling menyamar.

Setelah serombongan perupa kontemporer Jerman muncul dalam pameran bertajuk Quobo, Seni Rupa di Berlin 1989-1999 di Museum Nasional, Jakarta, Oktober tahun silam (lihat juga TEMPO, 21 Oktober 2001), kini karya-karya Gerhard Richter menjadi santapan publik seni rupa di Indonesia. Karya-karya seni rupa Richter muncul dalam pameran bertajuk Survey, bagian dari sebuah program pameran keliling perupa-perupa mutakhir Jerman ke sejumlah negara, yang diprakarsai oleh IFA (Institut fur Auslandsbeziehungen). Di Indonesia, pameran berlangsung di Galeri "i see", Jakarta, awal Februari silam, yang kemudian dilanjutkan di Galeri Soemardja, Bandung (18 Februari-9 Maret 2002).

Gerhard Richter (kelahiran Dresden, 1932) merupakan bagian dari generasi perupa Jerman yang muncul pada dasawarsa 1960 setelah bermacam-macam krisis politik yang terjadi di negeri ini (Perang Dunia II, terbentuknya Blok Barat-Timur, kekuasaan rezim nasional-sosialis). Pada dasawarsa 1970, bersama sejumlah nama lain, di antaranya Joseph Beuys, Sigmar Polke, Georg Baselitz, Anselm Kiefer, Jorg Immendorff, A.R. Penck, dan Markuz Lupertz, Richter tampil sebagai seniman Jerman yang banyak dibicarakan setelah bangkrutnya paham modernisme.

Bagian yang paling menantang dari tahap-tahap seni rupa Richter yang banyak segi (multi-facet) adalah karyanya yang membaurkan realitas "obyektif" yang dapat ditangkap oleh kamera foto dan representasinya di dalam seni lukis. Persaingan yang runcing di antara keduanya memunculkan pertanyaan: mana wakil yang lebih sah serta "obyektif" di antara keduanya?

Sebelum dasawarsa 1960, tidak banyak ditemukan karya Richter yang dikerjakan berdasarkan sebuah foto. Semenjak kepindahannya dari Dresden (Jerman Timur) ke Dusseldorf (Jerman Barat) pada 1961, Richter tercatat menghasilkan sejumlah lukisan yang dikerjakannya dengan cara memindahkan subyek-subyek foto—baik yang menunjukkan adanya hubungan pribadi maupun isu publik. Ia menyalin foto-foto itu di atas kanvas dengan cara manual, kadang-kadang dengan menyertakan keterangan fotonya. Pada masa ini umumnya lukisan Richter dicirikan oleh penggunaan hanya tiga warna: hitam, putih, dan gradasi abu-abu seperti lazimnya hasil sebuah cetakan foto hitam-putih. Teknik Richter, memindahkan subyek foto di atas kanvas, lalu menyapunya dengan kuas kering tatkala lukisan itu masih basah. Yang hadir kemudian pada karyanya adalah pertukaran dua kutub yang mengejutkan, yakni bayangan efek sebuah foto yang terkesan netral, datar, "obyektif" sekaligus "mengaburkan" citra lukisan. Atau, jejak tersamar sebuah lukisan yang dihasratkan (autografik), yang diam-diam berbiak di dalam citra yang seakan merupakan hasil reproduksi mesin (mekanik). Ya, dalam karya Richter, kedua medium—seni lukis dan fotografi—seakan saling menyamar.

Contoh untuk ini adalah karya Richter berjudul Uncle Rudi, yang dibuat berdasarkan sebuah foto dari album keluarga yang di-bawa-bawanya setelah migrasinya ke "Barat". Karya ini berupa sebuah lukisan cat minyak di atas kanvas dari tahun 1965. Karya Uncle Rudi yang ditampilkan pada pamerannya di sini dibuat dengan teknik cibachrome dengan ukuran yang sama persis dengan lukisan cat minyak "asli"-nya. Inilah watak seni Richter yang kontroversial: menangkap kembali citra yang bermakna baginya, menegaskan kehadiran ikoniknya—dianggap lebih penting ketimbang medium—dengan cara membuat "obyektif" yang asli atau original. Mana karya Richter yang "asli"? Apakah lukisan yang dikerjakan berdasarkan foto ataukah foto dari lukisan yang notabene juga disalin dari foto?

Pameran Survey—Richter memilih sendiri karya-karyanya untuk pameran ini—me-liputi beberapa tahap dalam perjalanan seni rupa Richter dalam tarikh 1977-2000. Pada sejumlah karyanya sepanjang masa itu, terkesan seakan-akan Richter menempuh tahap perkembangan yang bolak-balik: ia tak percaya perlunya bersandar hanya pada sebuah gaya.

Pada pertengahan dasawarsa 1960, Richter sebenarnya sudah mulai dengan lukisan yang menampilkan skema warna, menandai perubahannya yang pertama dari lukisan-lukisan awal yang dikerjakan dengan mentransfer foto. Dalam pameran ini, misalnya, terlihat bagaimana Richter tidak dapat secara linier dibatasi oleh suatu gaya dalam sebuah periode tertentu. Ia terus-menerus menghasilkan serangkaian karya seri non-figuratifnya yang problematik dari 1970-an sampai 1990-an, di samping lukisan-fotonya, seperti Betty (offset print, 1991), Little Bather (cibachrome, 1996), dan Cathedral Corner (cibachrome, 1998).

Seri lukisan Abstract Painting, yang dikerjakannya di atas kayu ataupun kanvas sejak 1977, tampak tidak memiliki kaitan apa pun dengan penyamaran medium antara fotografi dan seni lukis. Tapi lihatlah misalnya karya 128 Photographs from a Picture (1998, judul itu sendiri sudah menunjukkan peliknya problem medium yang muncul dalam karya Richter), yang dibuatnya dengan teknik cetak offset. Richter mengerjakan proyek ini dengan cara memotret permukaan dari sebuah sketsa abstrak karyanya dari berbagai sisi, jarak, dan kondisi cahaya yang berbeda-beda. Foto-foto ini kemudian disusun dalam barisan empat-empat, delapan panel, dua baris. Hasil akhirnya adalah sebuah lanskap yang kehilangan makna ataupun ciri individu setiap lembar fotonya: tak ada lagi foto yang menunjukkan mana (yang serupa dengan) subyeknya yang asli. Foto-foto itu, seperti ditulis oleh Dieter Schwarz, tidak dapat lagi menunjukkan—secara hakiki—pandangan obyektif yang diambil dari sudut yang paling benar, kecuali fragmen-fragmen permukaan gambar. Fotografi sebagai reportase obyektif tumbang oleh pernyataan tentang kemungkinan tampilnya pembacaan tak terbatas terhadap sebuah subyek tunggal.

Kata-kata Richter, "... mengaburkan untuk membuat segala sesuatunya sama, sama penting dan sama tidak penting. Mengaburkannya sehingga tidak tampak seperti sebuah kerajinan yang artistik, tetapi lebih teknis, halus, sempurna. Kekaburan yang membuat bagian-bagiannya saling bertukar. Mengaburkan sejumlah informasi tidak penting yang 'terlampau berlebihan'...."

Dalam perkara kecerdasan medium seperti ini, Richter pernah dikatakan "mengusung subyek fotografi dan teknik melukis ke dalam sebuah permainan sarana-sarana gambar yang saling bersaing sehingga setiap klaim terhadap realitas dapat batal oleh konflik ini".

Tentu saja, pada Richter kita menemukan kuatnya semangat untuk mengimitasi, bertentangan dengan pendapat tentang seniman sebagai talenta genius yang selalu berhasrat memproduksi ekspresi yang murni. Tapi adakah yang murni? Bukankah ini juga "akhir seni lukis", ketika kemurnian bidang-bidang lukisan tercemar oleh cita-cita dan hasrat dari "luar"?

Lukisan berdasarkan foto dipandang selama ini sebagai sebuah gesture yang subversif terhadap tradisi seni lukis. Demikianlah Richter: wakil seni lukis "obyektif baru" Jerman yang tidak menunjukkan tanda-tanda keterlibatan seni lukisnya dengan politik (politically engaged). Tidak politiskah Richter?

Nyatanya, Gerhard Richter bukannya seniman yang sama sekali apolitis. Pada 1963, ia pernah memanggungkan sebuah konsep seni pertunjukan bersama Konrad Lueg dalam Life with Pop di sebuah toko mebel terkemuka di Dusseldorf, Jerman, sebagai parodi terhadap situasi kehidupan dalam masyarakat yang ditemuinya pada waktu itu. Ia memasang lemari, meja saji, kompor gas, lampu tiang, dipan, dan kursi di atas pedestal. Demo "realisme kapitalis" Richter mengolok-olok setiap orang yang minatnya asyik terbatas hanya pada empat dinding rumah mereka sendiri. Aksi semacam itu tidak dapat dilakukan oleh Richter ketika ia hidup dalam masyarakat sosialis di Jerman Timur, tempat ekspresi pribadi dan opini kritis membawa risiko penahanan dan deportasi. Lukisan cat minyaknya, Herr Heyde (1965), ternyata juga mengusung subyek foto seorang dokter yang dianggap paling bertanggung jawab atas lebih dari 100 ribu korban euthanasia selama zaman Nazi.

Pameran ini sungguh penting untuk memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru dalam wacana seni rupa kontemporer di Indonesia: bukan karena sifat seni rupa kita yang terlampau bersemangat dan benderang untuk mencari solusi apa saja bagi realitas sosial, tetapi karena perlunya seniman sungguh-sungguh menyadari serta memaknai mediumnya sendiri secara lebih cerdas.

Gerhard Richter yang kabur tiba-tiba terasa jernih, anggun, sekaligus pucat untuk (publik) seni rupa yang meriah di Indonesia. Barangkali.

Hendro Wiyanto

Comments

Popular posts from this blog

Tradisi Dan Perubahan:

Tradisi Dan Perubahan: Ekspresi Kendiri Dalam Aliran Modernisme Malaysia. Oleh Mohamed Ali Abdul Rahman (Pensyarah Kanan Jabatan Liberal) M.A. (Arts History and PRints) M.A. Edu. USA. B. A (Hons) USM. Cert Ed. (KPM) I. Pengenalan Seniman Malaysia, generasi abad kedua puluh satu yang mengikuti aliran modernisme dan pasca modernisme akan menilai semula nilai peribuminya dalam konteks baru dan dengan pandangan lebih segar. Penilaian mereka mungkin tidak lagi bersandar kepada nilai-nilai yang pernah digunakan dalam masyarakatperibumi zaman tradisi dan mereka menganggap nilai-nilai tersebut sebagai ketingalna zaman ketika itu. Sebab-sebab utama nilai tersebut dilupakan kerana ia mungkin digunakan atau diamalkan lagi. Mereka lebih suka memberikan nafas baru kepada seni peribumi yang didapati dari sumber peninggalan warisan zaman dan petikan kesasteraan tradisi. Seniman dari masyarakat peribumi mungkin tidak keterlaluan sepert seniman barat yang melupakan terus institusi-institusi keagamaan

PENERIMAAN & PENGIKTIRAFAN: Teknologi Elektronik Sebagai Alatan & Media Baru Dalam Seni Visual.

PENERIMAAN & PENGIKTIRAFAN: Teknologi Elektronik Sebagai Alatan & Media Baru Dalam Seni Visual. Wan Jamarul Imran B. Wan Abdullah Thani Abstrak T eknologi elektronik; tempias teknologi maklumat dan agen transportasinya telah mula menular di dalam perkembangan seni tampak. Ia bakal dan akan menjadi aliran baru yang mampu memberi perubahan dan transformasi kepada pengucapan berkarya. Jika dilihat pengamal seni di Malaysia masih lagi takut untuk melakukan sedikit anjakan evolusi minda. Hakikat terhadap berus, cat dan kanvas sebagai alatan dan media unggul tidak seharusnya diketepikan tetapi perlu dikembangkan. Sekarang ini komputer, perisian dan skrin elektronik mampu memperkayakan gaya pengucapan berkarya. Melalui kesepaduan seni dan teknologi terkini boleh menguju

Lukisan Bayu papar soal kemasyarakatan

DALAM angkatan pelukis muda, nama Bayu Utomo Radjikin bukanlah asing lagi. Baik dalam seni arca, figura, realisme dan abstrak, Bayu mempunyai kelebihan yang tersendiri. Selepas arca karyanya yang berjudul ‘Bujang Berani’ memenangi hadiah dalam pertandingan Bakat Muda Sezaman anjuran Balai Seni Lukis Negara (BLSN) pada 1991, Bayu tidak menoleh ke belakang lagi. Bidang yang pada asalnya hanya sekadar hobi berubah menjadi kerjaya. “Sejak kecil hobi saya melukis. Saya memang tidak pernah terfikir ia akan menjadi kerjaya saya suatu hari nanti. Apa yang saya tahu ketika itu segala emosi saya luahkan menerusi lukisan ,” kata pelukis berasal dari Tawau, Sabah ini. Ekoran minat yang tinggi dalam bidang lukisan , selepas memperoleh keputusan Sijil Pelajaran Malaysia (SPM) dia memasuki Institut Teknologi Mara (ITM) (sekarang UiTM) bagi menyambung pengajian dalam bidang seni halus. “Apabila ia menjadi kerjaya, kepuasannya berlainan. Bidang yang saya minati sejak kecil hingga sanggup melupakan